Kali ini mimin mau Up sebuah cerita mistis pendakian Gunung Lawu, Tetapi pendakian ini bukan seperti pendakian biasa pada umumnya sobat, Melainkan untuk mencari Ilmu Kejawen.
Mungkin untuk orang-orang dari suku Jawa sudah tidak akan asing lagi dengan Ilmu Kepercayaan yang satu ini ya, karna sejak dulu mayoritas penganutnya adalah suku jawa. Selebihnya tantang Kejawen sendiri bisa seach di gugel yah...
Cerita ini berasal dari salah satu akun yutube bernama LDVS CHANNEL, ia menceritakan ini berdasarkan "kisah nyata dari Bpk. Yadi (Disamarkan) tentang pengalamannya ketika mendalami ilmu kejawen islami.
Akan tetapi semua nama tokoh dalam cerita ini disamarkan dan mohon ma'af jika ada kesamaan nama tokoh dalam cerita ini. *ucapnya
Cerita ini terbagi menjadi 4 halaman, Untuk Part selanjutnya sobat bisa klik halaman lanjutan di bagian bawah ya...Berikut Ceritanya :
Perjalanan Spiritual Ilmu Kejawen di Gunung Lawu Part 1
Berawal dari pembelajaran ilmu kejawen, aku (Yadi), Sigit dan Harun, kami semua berasal dari salah satu daerah di Madiun Jawa Timur.
Waktu itu kami mempunyai keinginan untuk mempelajari ilmu kejawen dengan tujuan agar dapat bisa membantu orang lain yang membutuhkan.
Kejawen merupakan kepercayaan dari sebuah etnis yang berada di Pulau Jawa. Filsafat Kejawen didasari pada ajaran agama yang dianut oleh filsuf dari Jawa. Walaupun Kejawen merupakan kepercayaan, sebenarnya Kejawen bukanlah sebuah agama.
Dari naskah-naskah kuno Kejawen, tampak betapa Kejawen lebih berupa seni, budaya, tradisi, sikap, ritual, dan filosofi orang-orang Jawa. Yang mana, itu tidak terlepas dari spiritualitas suku Jawa.
Dari kecil kami semua bersahabat, dan ketika kami sudah beranjak remaja dan berumur sekitar 26 tahun, kami datang ke salah satu padepokan yang berada di daerah Surabaya Jawa Timur, kedatangan kami ke padepokan itu karena kami ingin meminta tolong kepada seorang guru besar yang memiliki padepokan tersebut untuk belajar ilmu kejawen.
Setelah sampai di padepokan tersebut kamipun langsung menghadap kepada seorang guru pemilik padepokan tersebut dan bilang kalau kedatangan kami kemari karena ingin belajar ilmu kejawen.
Setelah melihat dan mendengar ucapan kami sang guru berkata,
“Untuk mempelajari ilmu tersebut tidak mudah, ada beberapa hal yang harus dilakukan, seperti tirakat, petualangan malam dsb”.
Karena niat kami sudah bulat untuk belajar ilmu kejawen, kamipun berani menanggung semua resiko yang dikatakan oleh guru besar tersebut .
Setelah melihat kesungguhan kami sang guru langsung menerima kami sebagai muridnya kemudian beliau berkata,
“Tunggu tiga hari lagi dan datanglah kesini lagi”.
Mendengar itu kamipun kembali pulang dan menunggu 3 hari sesuai perkataan dari sang guru kepada kami.
Singkat cerita, 3 hari kemudian kamipun datang kembali kepadepokan itu, kami berangkat dari Madiun sekitar jam 7 pagi dan sampai di padepokan sekitar jam 12 siang, sesampainya disana kamipun segera menemui sang guru lalu beliau mempersilahkan kami untuk masuk dan berkata,
“Sepertinya niat kalian sudah benar-benar bulat, kalau begitu taruh dulu barang barang kalian di kamar belakang dan temui saya di ruangan saya”.
Kamipun segera menuju dan menaruh barang-barang yang kami bawa kedalam kamar, setelah itu kami kembali lagi menghadap sang guru, lalu sang guru mengatakan apa saja yang harus kami lakukan. Malam harinya kami melakukan beberapa ritual yang dipandu langsung oleh sang guru.
Setelah melakukan ritual itu sang guru memberitahu kami tentang kegiatan malam selanjutnya,
“Besok saya akan antar kalian ke gunung lawu untuk melakukan perjalanan malam”.
Mendengar itu kami tidak banyak bertanya dan hanya menurut, dan malam itu kamipun istirahat dan mempersiapkan diri untuk melakukan perjalanan besok ke gunung lawu.
Pagi pun tiba, pagi itu setelah selesai sholat subuh sang guru menemui kami dan mengatakan bahwa nanti setelah dzuhur kami akan berangkat ke Gn. Lawu, dan siang harinya kamipun berangkat dan diantar langsung oleh sang guru.
Singkat cerita, sampailah kami di kawasan candi yang disebut Candi Cetho sekitar jam 8 malam.
Sesampai disitu kami mendapatkan berbagai intruksi dari sang guru yang salah satunya adalah,
“Nanti jam 12 malam kalian harus naik ke Hargo Dalem untuk mencari ayam cinde laras dan ingat, itu cuma ada satu”.
Serentak kami menjawab “Injih” (Iya).
Lalu sang guru lanjut berucap,
“Tidak hanya itu saja kalian juga harus menghindari beberapa pantangan ini”.
Beberapa pantangannya adalah, di dalam perjalanan kami tidak boleh memanggil satu sama lain dengan menyebut nama asli, mengabaikan semua yang menghalangi perjalanan dan menjaga sopan santun.
Tanpa banyak bertanya kamipun meng-iyakan intruksi dari sang guru.
Pada tahun 1999 lalu jalur pendakian gunung lawu via cetho bisa dibilang masih jarang sekali dijamah manusia, jadi yang akan kami lewati kali ini adalah benar-benar hutan rimba dengan suasana mistis didalamnya.
Sambil menunggu jam 12 malam kamipun mempersiapkan diri dan perbekalan masing-masing sebelum melakukan perjalanan.
Singkat cerita waktu sudah menunjukan jam 12 malam, kamipun berpamitan kepada sang guru untuk memulai perjalanan malam ini.
Sebelum berangkat sang guru mengajak kami semua untuk berdoa agar misi untuk mencari ayam cindelaras ini berhasil dan setelah berdoa kami bertiga mulai berjalan semmentara sang guru menunggu kami di candi cetho.
Mulai berjalan, baru saja kami memulai perjalanan beberapa gangguan sudah kami rasakan, seperti terdengar sebuah bisikan dan entah bisikan apa itu, tapi kami tidak menghiraukannya dan tetap fokus dengan tujuan.
Singkat cerita sampailah kami disebuah tempat yang mungkin sekarang disebut area Mbah Branti.
Disini aku mengajak teman-temanku berhenti sebentar karena aku merasa lapar, aku mengajak Sigit dan Harun untuk makan sebentar tapi Sigit menolak dan bilang,
“Aku belum lapar Yad, kalian makan aja dulu aku mau jalan pelan-pelan”
“Bareng aja, kita makan sebentar kok”, ucapku kepada Sigit.
“Gpp aku naik duluan, aku tunggu pelan-pelan”, jawab Sigit.
Belum sempat aku mengijinkan, tiba-tiba Sigit sudah nyelonong gitu aja sambil bilang,
“Aku tunggu kalian sambil jalan!”
Akhirnya Aku dan Harun membiarkan Sigit untuk jalan duluan.
Aku dan Harun pun makan, setelah selesai makan kami tidak langsung melanjutkan perjalanan, kami menyalakan satu batang rokok ditengah-tengah kegelapan hutan yang dingin ini.
Setelah rokok habis Aku dan Harun kembali melanjutkan perjalanan untuk menyusul Sigit yang tadi sudah berjalan duluan.
Di perjalanan Aku dan Harun mengobrol sambil memikirkan dimana tempat ayam Cindelaras yang dimaksud sang guru itu,
“Kira-kira ayam yang dimaksud guru itu ada dimana ya?”, tanya Harun kepadaku.
“Entahlah Run, kita tunggu sampai nanti subuh aja pasti ayam itu akan berkokok”, jawabku yang juga tidak tau keberada’an ayam Cendilaras itu.
Setelah beberapa menit setelah obrolan kami itu tiba-tiba Harun merasa ingin buang air kecil dan bilang kepadaku,
“Yad, aku kencing dulu ya”
“Yaudah aku jalan pelan-pelan”, jawabku dengan santai.
Akupun berjalan pelan-pelan sambil menunggu Harun yang sedang kencing.
Setelah beberapa menit berjalan Akupun berhenti untuk istirahat dan menyalakan sebatang rokok uagar menemaniku sembari menunggu Harun.
Lama menunggu, sampai rokok yang kuhisap ini habis Harun belum juga datang, Akupunberfikir,
“Mungkin Harun kembali turun dan tidak bisa melanjutkan perjalanan”.
Akupun pun malanjutkan perjalananku pelan-pelan dan aku tidak berani memanggilnya karena itu adalah sebuah pantangan.
Sambil berjalan Aku memikirkan kedua temanku karena khawatir terjadi apa-apa dengan mereka, tapi sesuai dengan niat awal Akupun tetap berfikir positif dan terus berjalan naik.
Terus berjalan, lalu dari kejauhan Aku melihat Sigit sedang duduk di antara pohon, Akupun segera menghampirinya dan sesampai disitu Sigit bertanya,
“Kamu kok sendirian dimana Harun?”
“ Harun masih di bawah, mungkin dia nyerah dan balik turun”. Jawabku dengan yakin.
Kamipun duduk santai sambil menunggu Harun, siapa tau dia menyusul, tapi sudah 30 menit kami menunggu Harun tidak juga datang.
Karena mengejar waktu kamipun segera melanjutkan perjalanan dan menganggap bahwa Harun memang sudah menyerah dan kembali turun.
Di perjalanan Sigit menceritakan kepadaku tentang apa yang dialaminya tadi ketika berjalan sendiri.
Dia bilang kalau dia tadi sempat buang air kecil dan merasa sangat merinding, dia merasa ada sesuatu yang mengawasinya ketika kencing itu, tapi mengingat pesan dari sang guru diapun mengabaikannya dan cepat-cepat menyelesaikan kencingnya. Dan setelah buang air kecil Sigit di kagetkan oleh seorang kakek tua yang tiba-tiba saja menghadangnya, kakek tua ini bertubuh pendek dan berjalan membungkuk, kakek itu sempat bilang pada Sigit,
“Le, kowe ojo nguyuh ngawur nek kowe gak gelem kenopo-nopo”
(Nak kamu jangan buang air kecil sembarangan kalau kamu tidak mau kenapa-napa)
Mendengar perkataan kakek itu Sigit terdiam dan hanya mendengar nasehat dari kakek itu sambil menundukan kepalanya, tapi kakek itu tiba-tiba tidak ada ketika Sigit akan mengucapka permintaan ma’af kepadanya.
Sigitpun mengabaikannya, dengan perasaan sedikit takut dia cepat-cepat meninggalkan tempat itu, karena merasa takut dengan perkataan kakek itu akhirnya Sigit duduk sambil menunggu Yadi dan Harun.
“Mungkin dia adalah kakek penunggu tempat itu, sudah sekarang kamu tenangkan fikiranmu dan ingat pesan guru tadi”, ucapku sembari menasehati Sigit.
Kamipun terus berjalan dan fokus dengan tujuan kami, sesampainya di area Bulak Peperangan, Sigit bilang padaku kalau dia merasa kelelahan dan Akupum mengajaknya untuk berhenti dulu.
Ketika sedang berhenti Aku mengeluarkan sebotol air minum dan beberapa makanan ringan yang ku bawa untuk dimakan dan tidak lupa Aku menawari Sigit, tapi Sigit menolaknya dengan alasan dia sudah makan tadi pas nungguin Aku datang.
Akhirnya Sigit hanya minum seteguk air dan merokok saja, sementara aku makan beberapa cuil roti kering.
Ketika sedang istirahat itu kami mengbrol santai dan Sigit bertanya padaku,
“Kira-kira ayam Cendilaras yang dimaksud guru itu dimana ya?”
“Aku juga gak tau, tunggu nanti subuh, pasti ayam itu akan berkokok”, jawabku yang juga tidak tau.
Tidak lama kemudian Sigit lanjut berkata,
“ Yad, aku buang kencing dulu ya kamu tunggu di sini”
“ Yasudah hati-hati jangan lupa permisi”, jawabku sambil menasehati Sigit.
Sigitpun berjalan menepi dan buang air kecil disela-sela rumput ilalang yang tinggi dan buang air kecil disitu, tidak lama kemudian Sigit kembali dari buang air kecilnya dan terlihat buru-buru sambil mengambil rokoknya didalam tas.
Melihat Sigit yang sedang buru-buru Akupun bertanya,
“Mau kemana lagi kok bawa rokok, kan kamu masih pegang rokok?”
“Ada orang tua minta rokok, kasian”, jawab Sigit dengan buru-buru.
Tanpa ada berfikir negatif Akupun membiarkannya.
Aku yang sedang duduk seorang diripun lalu menyalakan sebatang rokok, tapi sampai rokok yang kuhisap itu habis Sigit tidak juga kembali.
Karena takut terjadi apa-apa dengannya Aku mencari Sigit kearah tadi Sigit berjalan, Aku berjalan keliling sekitar area Bulak Peperangan sambil memanggil nama Sigit,
“Huuu,huu....”
Itu adalah kode yang kugunakan untuk memanggil Sigit karena aku tidak bisa meamnggilnya dengan nama asli, sesuai saran sang guru.
Next part 2 ...
Perjalanan Spiritual Ilmu Kejawen di Gunung Lawu Part 2
Setelah sekian lama aku mencari dan memanggilnya, Sigit tidak meresponku hingga kejadian itu membuatku bingung.
Dalam hati aku bilang,
“Kemana perginya anak ini?”.
Karena tidak juga bertemu Sigit yadi pun berfikir,
“Jangan-jangan Sigit sudah duluan ke Hargo Dalem dengan kakek yang katanya meminta rokok tadi?”
Akhirnya Akupun kembali ke tempat istirahatku tadi dan aku mengira kalau Sigit memang sudah duluan ke Hargo Dalem dan meninggalkanku.
Akupun segera melanjutkan perjalanan dan membawakan tas Sigit yang tertinggal.
Singkat cerita, sampailah Aku di Hargo Dalem, sesampainya disitu aku tidak juga melihat Sigit.
Aku berfikir,
“Mungkin Sigit sedang di tempat lain untuk mencari ayam Cendilaras”.
Akupun segera meletakkan tasku dan tidak memikirkan Sigit lagi, aku segera mencari ayam Cendilaras itu, karena kata sang guru ayam Cendilaras itu cuma ada satu takutnya Sigit lebih dulu menemukannya.
Aku berkeliling di area Hargo Dalem untuk mencari ayam tersebut dan siapa tau dia juga bisa bertemu dengan Sigit.
Lama mencari, tapi Aku tidak juga bisa menemukan keberadaan Cendilaras begitu juga Sigit.
Karena merasa capek Aku beristirahat di sebuah batu besar dan berbaring di atas batu tersebut sambil berfikir dimana aku bisa menemukan ayam itu.
Aku hampir putus asa tapi tidak lama kemudian tiba-tiba aku mendengar seperti ada suara ayam berkokok sangat pelan, mendengar itu aku merasa sedikit senang dan segera mencari sumber suara tersebut.
Setelah menemukan sumber suara tersebut ternyata benar itu adalah se’ekor ayam Cendilaras yang sedang kucari dan aku langsung menangkapnya.
Aku merasa sangat senang karena aku sudah mendapatkan ayam itu terlebih dahulu tepat sebelum matahari terbit.
Saking senangnya aku langsung membawa ayam itu turun dan tidak lagi memikiran teman-temanku.
Sesampai di candi cetho ternyata sang guru sudah menungguku dan akupun segera memberikan ayam itu kepada sang guru.
Setelah kuberikan sang guru bertanya,
“Dimana teman-teman kamu Yad, kenapa kamu seorang diri?“
“Saya terpisah dengan Sigit selama perjalanan naik, dan Harun saya mengira dia menyerah dan kembali turun. Saya tidak tau mereka kemana”, jawabku kepada guru.
Mendengar itu sang guru langsung terdiam sambil meletakan tangan di keningnya, seperti orang yang sedang berfikir.
Tidak lama kemudian sang guru mengatakan sesuatu kepadaku,
“Ya sudah sekarang kita pulang, nanti akan aku ceritakan tentang teman-temanmu setelah sampai di padepokan”.
Akupun bingung dengan apa yang di maksud oleh guru dan kenapa guru meninggalkan Sigit dan Harun.
Tanpa banyak tanya akupun menurut dan mengikuti apa yang di katakan oleh sang guru, dan kami pulang .
Singkat cerita, sampailah kami di padepokan, sesampai di sana guru memintaku agar menaruh ayam itu di dalam kandang yang sudah disediakan oleh sang guru, setelah ayam itu kutaruh di dalam kadang aku kembali menghadap sang guru.
Disini sang guru menceritakan semua yang telah terjadi kepada teman-temanku, kalau ternyata Harun dan Sigit telah dibawa oleh jin ke alam lain.
Karena aku merasa yang paling tua diantara kami bertiga, akupun menangis setelah mendengar cerita dari sang guru, aku merasa sangat bersalah karena aku sudah membiarkan teman-temanku terpisah waktu itu.
Lalu sang guru menenangkanku sambil berucap,
“Kamu tidak usah khawatir, Harun dan Sigit pasti akan dikembalikan tapi entah kapan”.
Mendengar itu aku sedikit lega meskipun aku tidak tau kapan teman-temanku akan kembali pulang.
Sang guru lalu memintaku agar membersihkan badan dan istirahat, setelah selesai istirahat sang guru memintaku untuk menghadapnya.
Mendengar perintah itu akupun segera mandi untuk membersihkan badan kemudian lanjut istirahat.
Sekitar sore hari aku bangun dan menghadap sang guru, ketika sedang menghadap guru memintaku agar melakukan puasa 7 hari 7 malam, karena itu adalah salah satu syarat untuk memperoleh ilmu kejawen yang kuinginkan.
Singkat cerita, 2 bulan lamanya aku tinggal di padepokan dan mengabdi kepada guru, selama 2 bulan itu aku terus mendo’akan kedua temanku yang waktu itu hilang di gunung lawu.
Singkat cerita, setelah sekitar 2 bulan lebih lamanya aku tinggal di padepokan, guru memintaku agar pulang untuk mengambil pakaianku, karena aku harus mengabdi di padepokan lebih lama lagi.
Akupun pulang ke kampung halamanku di Madiun yang hanya diberi izin oleh guru selama 14 hari.
Selama berada di rumah aku tidak berani keluar rumah karena takut orang tuanya Harun dan Sigit akan bertanya karena mereka tidak ikut pulang bersamaku.
Setelah 1 minggu berada di rumah aku kaget karena tiba-tiba ada orang yang datang kerumahku, aku takut kalau yang datang itu adalah orang tua Harun atau Sigit.
Aku memberanikan diri untuk melihat siapa yang datang, kalaupun itu adalah orang tua Harun dan Sigit aku harus berani mengatakan yang sebenarnya.
Setelah kubuka pintu ternyata yang datang kerumah itu adalah Harun.
Melihat kedatangan Harun aku benar-benar sangat terkejut, seakan aku tidak percaya kalau yang datang itu benar-benar Harun.
Aku langsung memeluk Harun sambil menangis bahagia, dan seketika itu juga aku ingat dengan apa yang pernah dikatakan oleh guru, kalau teman-temannya pasti akan pulang tapi entah kapan.
Akupun langsung mempersilahkan Harun untuk masuk dan kami berdua duduk di ruang tamu, lalu aku bertanya kepada Harun kemana dia selama ini.
Harunpun menceritakan semua yang dialaminya kepadaku tentang menghilangnya dia di gunung lawu waktu itu.
(Cerita dari Harun)
Ternyata ketika Harun selesai buang air kecil waktu itu dia merasa sedang berjalan berdua bersama Yadi tapi tiba-tiba dia tidak sadar dengan jalan yang dilaluinya itu, karena bingung Harun bertanya pada Yadi,
“Loh, ini kita ada dimana sih?”.
Tapi aku tidak menjawabnya dan Harunpun hanya fokus berjalan dibelakangku.
Setelah lama berjalan tiba-tiba Yadi mengajak Harun untuk istirahat di bawah pohon, dan ketika sedang istirahat itu Harun merasa dirinya ngantuk.
Akhirnya secara tidak sadar Harunpun tertidur dibawah pohon itu.
Lama dia tertidur, lalu dia terbangun karena merasa ada sebuah rambut panjang yang menutupi seluruh wajahnya, sontak dia kaget lalu dia berfikir,
“Ini rambut siapa? Perasaan rambutnya Yadi tidak sepanjang ini?”.
Setelah dilihat dengan jelas, ternyata itu memang bukan rambuntya Yadi melainkan rambut seorang pria yang wajahnya sangat menyeramkan, dan waktu terbangun itu Harun tidak melihat Yadi di sampingnya.
Dan yang lebih anehnya lagi setelah bangun itu tiba-tiba Harun berada di sebuah gubuk, padahal sebelum tidur tadi dia ingat dengan jelas kalau dia tertidur bersama Yadi di bawah pohon.
Karena takut, Harun pun segera berlari meninggalkan gubuk tersebut, dia berlari tanpa tujuan, hingga akhirnya dia tidak tau arah kembali dan tidak tau dimana dia berada, akhirnya dengan kebingungan dia hanya bisa berjalan terus tanpa tujuan.
Tidak lama kemudian dia melihat ada sebuah pohon yang sangat besar dengan akar yang menjalar dari pohon tersebut.
Harun pun berjalan kearah pohon itu dan duduk tepat dibawah pohon itu sambil merenung, bagaimana awalnya dia bisa sampai di tempat ini.
Akhirnya dia tau satu hal, bahwa yang berjalan didepanya waktu itu bukanlah Yadi, melainkan Jin yang sengaja menyesatkannya ke alam gaib.
Tidak lama kemudian dari kejauhan dia melihat ada sebuah perkampungan yang aneh dan beberapa orang yang berjalan mondar mandir tanpa tujuan, sama halnya seperti Harun.
Diapun berjalan menghampiri salah satu orang itu dan bertanya jalan pulang,
“Pak, saya mau tanya”
Tapi orang itu tidak meresponnya dan mengabaikan pertanyaan Harun, Harunpun tidak berputus asa, dia terus mendatangi satu per satu orang yang yang ada disitu dan hasilnya tetap nihil, dia tidak menemukan jawaban atas pertanyaannya.
Akhirnya dia berinisiatif berjalan mengikuti salah satu orang tersebut, siapa tau orang ini bisa menuntunnya pulang.
Orang yang di’ikuti waktu itu adalah seorang kakek tua dengan wajah pucat dan berjenggot panjang menutupi seluruh lehernya.
Terus berjalan mengikuti kakek itu, tapi kakek itu malah menuntunnya kearah sebuah sungai, dan kakek tua yang di’ikutinya itu tiba-tiba berjalan kearah sungai tersebut dan menghilang begitu saja.
Harun semakin bingung dibuatnya dan dia semakin tidak tau dimana dia berada.
Dia hanya bisa terduduk lemas di tepi sungai sambil menangis meratapi nasibnya, hingga tidak terasa dia tertidur.
Lama dia tertidur, bangun-bangun ternyata hari sudah mulai terang, dan setelah bangun itu fikirannya semakin bingung hingga akhirnya dia linglung.
Lalu dengan keada’annya yang sudah tidak karuan dia berjalan menyeberangi sungai itu, dan setelah sampai diujung sungai dia melihat ada sebuah perkampungan lagi.
Diapun berjalan menuju ke perkampungan tersebut, sesampainya di perkampungan itu dia semakin bingung karena melihat banyak sekali orang yang sedang beraktifitas, dan Harun, dia hanya bisa melihat orang-orang itu sambil berjalan mengitari perkampungan tersebut.
Dia enggan bertanya pada orang-orang yang ada disitu karena dalam pikirannya pasti orang-orang ini tidak akan menjawabya seperti yang sudah dilakukan sebelumnya.
Terus berjalan mengitari kampung dan tanpa tujuan, karena merasa lapar dia mencoba mendatangi salah satu rumah yang ada disitu untuk meminta makanan.
Satu rumah didatanginya tapi penghuninya tidak memberinya makanan, lalu dia berjalan menuju kerumah yang lainnya dengan tujuan yang sama dengan hasil yang sama malah dia diusir dari rumah kedua yang didatanginya, akhirnya diapun terus mendatangi satu persatu rumah hingga rumah kelima penghuninya mau memberinya makanan.
Harun pun menerima makanan yang sudah diberikan kepadanya dan membawanya pergi kedalam hutan dan memakan makanan itu di hutan.
Setelah selesai makan dia merasa haus dan akan kembali ke rumah tadi untuk meminta air.
Ketika sedang berjalan menuju rumah yang akan ditujunya, Harun melihat ada sebuah sumur tua yang sudah berlumut. Dia berjalan mendekati sumur tersebut untuk melihat apakah sumur itu ada airnya, setelah dilihat ternyata benar, sumur itu berisi air yang sangat jernih dan bisa diminum.
Harun segera mengambil air sumur itu dan meminumnya, setelah meminum air sumur itu dia membasuh wajahnya dengan air tersebut.
Next part 3 ...
Perjalanan Spiritual Ilmu Kejawen di Gunung Lawu Part 3
Setelah membasuh wajahnya dengan air sumur itu tiba-tiba ada seorang kakek yang tidak begitu tua menghampirinya, dan anehnya rasa ketakutan dan kebingungan yang sebelumya dia rasakan kini sudah hilang setelah dia membasuh wajahnya dengan air tersebut.
Melihat kedatangan kakek itu Harun pun bertanya,
“Pakde, niki ten pundi?”
(Kek, ini dimana?)
Lalu kakek itu menjawab,
“Iki jenenge deso S le, lah sampeyan asale tekan ngendi?”
(Ini namanya desa S nak, kamu asalnya darimana?) (Untuk nama desanya aku gak bisa sebutkan)
Lalu Harun lanjut bertanya,
“Kulo asli Madiun pakde, nek tekan kene nang Madiun tebeh nopo pakede?”
(Kalau dari sini ke Madiun jauh nggak kek?)
Lalu kakek itu mengajak Harun untuk kerumahnya.
Sesampai dirumahnya kakek itu memberitahu banyak kepada Harun tentang kampung yang ditempati ini dan seberapa jauh untuk menuju ke Madiun.
Ternyata kampung itu bukanlah kampung gaib seperti yang dilihat Harun sebelumnya melainkan ini memang benar-benar kampung yang dihuni oleh manusia.
Dan selama Harun berada di kampung itu orang-orang kampung menganggap Harun adalah orang gila.
Pantas saja dia mendatangi beberapa rumah untuk meminta makan tidak ada yang mau memberinya, bahkan sampai diusir.
Setelah mendengar penjelasan kakek itu Harun pun menceritakan kepada kakek itu bagaimana dia bisa sampai disini.
Setelah mendengar cerita dari Harun kakek itu merasa kasihan kepada Harun, hingga akhirnya kakek itu memberinya sejumlah ongkos untuk Harun kembali pulang ke Madiun.
Harun menerima pemberian kakek itu dan mengucapkan banyak terima kasih karena telah berbaik hati kepadanya dan hari itu juga Harun pulang ke Madiun dengan bekal ongkos yang diberi kakek itu.
Di tengah perjalanan Harun kembali ke kampung halamannya dia teringat dengan dua temannya yaitu Yadi dan Sigit yang waktu itu bersamanya untuk sebuah misi mendalami ilmu kejawen.
Singkat cerita sampailah Harun di kampung halamannya, sesampai di kampung halamannya dia tidak langsung pulang kerumah tapi langsung menuju kerumah temannya yaitu Yadi.
Sesampai dirumah Yadi dia mengetuk pintunya dan yang membukakan pintu adalah Yadi sendiri.
(Oke kita kita kembali ke cerita)
Mendengar cerita dari Harun aku merasa heran, ternyata sesingkat itu perjalanan yang dilalui Harun, bisa dibilang itu cuma sehari semalam sedangkan selama hilangnya Harun itu aku sudah 2 bulan lebih kehilangannya.
Akupun sangat merasa bersalah, lalu aku lanjut bertanya pada Harun,
“Syukurlah Run kamu sekarang sudah kembali pulang, tapi dimana Sigit Run?”
“Aku tidak tau dimana Sigit, yang aku ingat waktu itu Sigit sudah jalan duluan meninggalkan kita”, jawab Harun yang tidak tau apa-apa.
“Semoga Sigit bisa kembali pulang dengan selamat ya Run”, jawabku kepada Harun.
Mendengar itu Harun sedikit tersentak, lalu dia menjawab,
“Loh memangnya Sigit belum juga pulang?”
“Sepertinya belum, sejak pulang dari padepokan aku tidak berani keluar rumah karena takut orang tuanya menanyakan”, jawabku kepada Harun.
Lalu Harun mengajakku untuk mendatangi rumah Sigit, siapa tau Sigit sudah pulang dan aku tidak mengetahuinya.
Akupun menyetujui ajakan Harun dan kami berdua pergi kerumah Sigit, setelah sampai dirumah Sigit ternyata benar, Sigit sudah berada dirumah 1 bulan yang lalu tapi dengan keada’an memprihatinkan, dia tidak bisa bicara, alias bisu.
Melihat Sigit dirumah aku berdua sangat lega tapi juga turut prihatin dengan keada’an Sigit yang seperti itu, lalu aku meminta kepada Sigit untuk menceritakan tentang dirinya selama dia hilang di gunung lawu waktu itu.
Karena kondisi Sigit yang tidak bisa bicara Sigitpun tidak bisa menceritakan banyak kepada kami berdua, dia hanya menceritakan sedikit melalui tulisan yang ditulisnya diatas di kertas.
Diatas kertas itu menjelaskan bahwa setelah buang air kecil itu Sigit didatangi seorang kakek tua lagi, tapi kakek ini berbeda dengan yang ditemuinya tadi, kali ini kakek itu terlihat seperti manusia biasa dengan memakai tudung tani. Kakek itu lalu datang kepada Sigit dan bilang,
“Le, aku jaluk rokokmu siji”
(Nak aku minta rokokmu satu batang saja)
Sigit mengira kakek ini adalah manusia biasa yang mempunyai tujuan sama dengannya.
Karena waktu itu rokoknya Sigit ada di tas dia pun segera mengambilnya dan meminta kakek itu untuk menunggunya disitu, lalu Sigit kembali ke tempat istirahatnya tadi dan mengambil rokoknya yang ada di tas.
Sesampainya Sigit di tempat kakek tua tadi Sigit tidak melihat kakek itu lagi, entah kemana perginya, lalu dia memanggilnya,
“Kek, ini rokoknya kek”, tapi tidak ada jawaban sama sekali.
Sigitpun terus mencarinya tapi tetap tidak menemukannya.
Ketika sedang mencari kakek tua yang meminta rokok waktu itu tiba-tiba Sigit mendengar ada orang yang memanggil namanya.
Karena suara yang memanggilnya itu terdengar seperti suara Yadi Sigitpun menjawabnya, dan setelah dia menjawab suara yang memanggilnya itu tiba-tiba dia merasa mulutnya sedang dibungkam oleh seseorang dari belakang hingga dia pingsan.
Setelah sadar dari pingsannya Sigit merasa kebingunan karena tiba-tiba saja dia berada di sebuah gubuk yang belum pernah dia lihat sebelumnya.
Karena merasa tempat itu asing baginya Sigit pun segera berjalan untuk mencari jalan pulang, tapi tidak menemukannya.
Dia juga sempat menjumpai sebuah perkampungan yang semua penghuninya berwajah aneh.
Beberapa kali dia mencoba bertanya kepada orang-orang berwajah aneh tersebut tapi dia tidak bisa berkomunikasi dengannya karena dia merasa mulutnya tidak bisa bicara hingga akhirnya membuat dia putus asa.
Diapun pasrah dengan keada’annya, tidak lama kemudian ada sosok kakek tua berjubah putih yang sedang terbang dan menghampirinya dan mengembalikan dia ke rumah dengan keadaan yang tidak bisa bicara sampai saat ini.
Setelah membaca cerita yang ditulis Sigit aku menyimpulkan.
Inilah alasannya kenapa sang guru pernah berpesan sebelum kami berangkat ke gunung lawu waktu itu,
“Jangan pernah memanggil satu sama lain dengan menyebut nama asli”
Ternyata yang dimaksud sang guru adalah, jika ada yang memanggil dengan nama asli sudah dipastikan yang memanggilnya itu bukan manusia melainkan jin.
Setelah membaca pernyata’an dari Sigit itu aku dan Harun pulang kerumah masing-masing.
Ke’esokan harinya Harun kembali mendatangiku kerumah dan mengajakku ke kampung yang berinisial “S” untuk menemui kakek yang pernah menolongnya untuk berbalas budi.
Mendengar ajakan itu akupun ikut bersama Harun ke kampung “S” dan menemui kakek tersebut.
Sesampai dirumah kakek tersebut Harun mengembalikan ongkos yang pernah diberikan oleh kakek itu kepadanya dan beberapa barang lainnya sebagai tanda terima kasih.
Mereka juga menceritakan tentang pengalamannya tentang ilmu kejawen yang dipelajarinya dan kakek itu berpesan pada mereka,
“Untuk mempelajari ilmu tersebut memang tidak gampang, kalau tidak kuat bisa-bisa jiwa kalian yang menjadi taruhannya”
Dalam artian kalau tidak kuat bisa-bisa gila.
Setelah berbalas budi kepada kakek itu mereka berdua kembali pulang dan 2 minggu sudah berlalu.
Aku harus kembali ke padepokan untuk mengabdi.
Sebelum berangkat tidak lupa aku berpamitan kepada Harun dan Sigit teman seperjuanganku dan Harun, dia berjanji akan menyusulku ke padepokan untuk kembali mempelajari ilmu kejawen yang diinginkannya.
2 minggu telah berlalu. Yadi, dia haus kembali ke padepokan untuk mengabdi, sebelum berangkat dia berpamitan dengan Harun dan Sigit, teman seperjuangannya dan Harun dia berjanji kepada Yadi akan menyusul Yadi ke padepokan untuk mempelajari ilmu kejawen yang diinginkannya.
Singkat cerita, sampailah aku di padepokan, sesampai di padepokan aku memberitahu guru tentang kembalinya Harun dan musibah yang menimpa Sigit, mendengar itu guru hanya tersenyum sambil bilang,
“Itulah sebabnya aku memintamu pulang”.
Mendengar itu aku heran, ternyata sang guru sudah tau.
Lalu aku lanjut berucap,
“Tapi kasihan sama Sigit, dia tidak bisa bicara”
“Bisunya Sigit itu dikarenakan dia masih dibungkam oleh jin dari gunung lawu waktu itu”, jawab sang guru.
“Lalu, apa ada cara untuk menyembuhkan Sigit?”, tanyaku lagi.
“Tidak ada, yang membungkam mulutnya itu adalah bangsa jin karena dia sudah pantangan aturan yang pernah saya berikan”.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tidak terasa 1 tahun telah berlalu.
Selama 1 tahun itu di padepokan aku sudah belajar banyak dari sang guru, berbagai rintangan mistis pun sudah kualami, mulai dari bermalam di kuburan, menghafal kitab-kitab jawa, menghafal doa islami dsb.
Pernah pada suatu hari guru memintaku untuk bertapa di sungai selama satu malam untuk mengasah ilmu yang sudah aku pelajari. Dan pada sa’at berendam itu guru berpesan kepadaku agar tetap fokus dan mengabaikan semua yang mengganggunya.
Pada sa’at berendam itu banyak sekali gangguan mistis yang kualami.
Salah satunya adalah, ketika sedang bertapa aku sempat didatagi 2 ekor buaya putih dan akan memangsaku, tapi dengan ilmu yang sudah pernah diajarkan oleh gurun aku berusaha menenangkan 2 ekor buaya itu hingga akhirnya aku selamat dari ancaman buaya tersebut.
Ternyata buaya yang menggangguku itu bukanlah buaya biasa, melainkan buaya gaib penunggu sungai itu.
Ketika sepertiga malam, aku juga sempat melihat ada beberapa orang wanita yang mengenakan pakaian khas jawa kuno sedang mandi di sungai tersebut.
Salah satu wanita itu sempat mengajakku untuk masuk ke dasar sungai dengan tujuan ingin menjadikanku sebagai pengikutnya, tapi aku tetap fokus bertapa dan mengabaikannya sesuai saran dari guru.
Satu malam telah berlalu, dan telah telah berhasil menyelesaikan bertapaku ketika hari sudah menjelang subuh.
Setelah itu aku kembali ke padepokan, setelah sampai di padepokan pagi harinya aku menemui sang guru dan menjelaskan tentang kejadian yang kulami selama bertapa itu.
“Kamu akan bisa berjalan diatas air sungai itu Yad, tapi kau harus mengamalkan beberapa amalan yang akan kuberikan kepadamu”. Ucap guru kepadaku.
Aku tidak begitu paham dengan perkata’an guru waktu itu.
2 tahun lamanya aku tinggal dan mengabdi di padepokan untuk mendalami ilmu kejawen, selama 2 tahun itu aku sudah lebih banyak belajar dari sang guru dan pada tahun 2001 Harun menyusulku kembali ke padepokan dengan tujuan ingin belajar ilmu itu lagi.
Next part 4 ...
Perjalanan Spiritual Ilmu Kejawen di Gunung Lawu Part 4(Terakhir)
Sesampai di padepokan Harun menemui sang guru dan sang guru kembali menerima Harun dengan senang hati.
Harun pun menerima banyak amalan dari sang guru dan pada suatu ketika, tepatnya bulan suro. Guru memerintahkan kepada kami berdua pergi ke sebuah air terjun untuk bertapa dan dilanjut dengan perjalanan malam untuk mengambil sebuah batu yang letaknya ada di gunung wilis.
Mendengar perintah itu Harun merasa tidak yakin, mungkin dia trauma dengankejadian yang pernah dialaminya di gunung lawu waktu itu.
Kami berangkat diatar oleh sang guru ke sebuah air terjun yang terletak di dekat gunung wilis.
Kami berangkat pada sore hari dan sesampai di air terjun itu sekitar jam 10 malam, sesampai disana sang guru memberikan berbagai instruksi yang harus kami patuhi, setelah itu sang guru meminta untuk istirahat dan menyiapkan diri masing-masing.
Sekitar jam 12 malam, kamipun mulai bertapa dibawah air terjun dan beberapa gangguan mistispun kualami.
Ketika sedang bertapa itu tiba-tiba aku mendengar ada suara raungan macan, mendengar suara itu spontan aku hilang fokus dan aku mencari sumber suara itu, ternyata suara raungan macan itu keluar dari mulut Harun yang sedang fokus dalam bertapanya.
Melihat itu adalah suara Harun akupun melanjutkan bertapaku dan memfokuskan fikiranku lagi.
Tidak lama kemudian aku mendengar seperti ada suara gamelan dari atas tebing yang terdengar sangat merdu hingga membuat ku tidak bisa fokus lagi dalam bertapa.
Tapi syukurlah, satu malam telah berlalu dan kami telah menyelesaikan bertapa, setelah selesai bertapa guru meminta kepada kami istirahat dan mempersiapkan diri untuk perjalanan nanti malam ke gunung wilis.
Singkat cerita, malam berikutnya kami akan melakukan perjalanan malam ke gunung wilis untuk mengambil sebuah batu.
Sebelum berangkat sang guru memberikan berbagai instruksi yang harus kami perhatikan,
“Kalian harus naik ke gunung itu dan mengambil sebuah batu yang letaknya ada di dalam sebuah goa, dan ingat goa itu bukan sekedar goa, itu adalah tempat bertapanya sosok makhluk yang menyerupai monyet”
Lalu aku bertaya,
“Apakah sosok itu tidak akan marah jika kami mengambil batu dari dalam goa itu?”
“Tidak, asalkan kalian selalu menjaga sopan santun dan jangan lupa permisi ketika akan masuk dan mengambil batu tersebut”, jawab sang guru.
“Apa saja yang harus kita hindari selama perjalan?” sahut Harun.
“Selama perjalanan kalian harus menjaga hawa nafsu dan sopan santun”, jawab sang guru.
Setelah memberikan beberapa instruksi itu sang guru lalu memberikan sebuah pedang kepadaku dan lanjut berucap,
“Pedang ini untuk bekal perjalanan kalian, gunakan untuk melindungi diri kalian tapi ingat, jika kalian bertemu dengan sosok ular jangan dibunuh karena kalian tidak akan sanggup, tapi kalau selain ular kalian bisa membunuhnya jika mereka hendak menyakiti kalian”.
Akupun menerima pedang yang diberikan guru.
Harun, dia sedikit merasa trauma dengan perjalanan kali ini karena mengingat dia pernah dibawa oleh jin ke alam lain ketika melakukan perjalanan malam di gunung lawu waktu itu, karena cemas Harun bilang kepadaku,
“Yad, aku merasa trauma dengan kejadian yang pernah kualami di gunung lawu waktu itu”
“Tenangkan fikiranmu Run, usahakan dalam hal apapun kita harus selalu bareng selama perjalanan”, jawabku meyakinkan Harun.
Mendengar itu Harunpun yakin dan setelah itu kami memulai perjalanan kami.
Mulai berjalan, diawal-awal perjalanan kami tidak ada kendala apapun, hanya melihat beberapa monyet yang memang tinggal di hutan tersebut dan tidak mengganggu.
Sekitar beberapa jam kami berjalan, tiba-tiba kami dihampiri oleh seorang wanita yang sangat cantik dan anggun, dan wanita itu mengenakan baju khas kerajaan.
Wanita itu berkata pada kami berdua,
“Aku tau tujuan kalian datang kemari, aku hanya menyarankan agar kalian lebih waspada setelah melewati hutan itu”, jawab wanita itu sambil menunjuk kearah hutan dibelakangnya.
Mendengar perkata’an wanita itu aku menjawab,
“Terima kasih sudah mengingatkan kami”.
Wanita itu menjawabnya dengan senyum sambil berjalan pergi kedalam hutan hingga kami tidak melihatnya.
Disini kami tau satu hal kalau ternyata wanita itu bukanlah manusia, entah itu jin atau seorang putri kerajaan, karena kalau dilihat dari pakaiannya dia seperti seorang putri keraja’an.
Kamipun lanjut berjalan dan mengingat ingat perkataan wanita yang tadi kami jumpai, sambil berjalan itu Harun bertanya padaku,
“Yad, wanita tadi itu siapa ya? Cantik bener”
“Huss, ingat apa kata guru kita harus tetap fokus dengan tujuan kita”, jawabku mengingatkan Harun.
Singkat cerita, sampailah kami di hutan yang dimaksud wanita tadi, sesampai dihutan itu kami merasakan ada hawa yang sedikit berbeda dari biasanya tapi kami mengabaikannya dan istirahat di sebuah batu besar untuk minum dan merokok.
Setelah rokok habis entah kenapa kami berdua tiba-tiba merasa ngantuk berat, seperti ada sesuatu yang membuat kami agar tidur di batu tersebut.
Akhirnya kamipun tertidur diatas batu tersebut dengan posisi terlentang tapi belum lama kami tertidur tiba-tiba aku mendengar seperti ada raungan macan di dekat kami.
Awalnya aku mengira itu adalah suara Harun, karena sebelumnya aku pernah melihat Harun sedang meraung seperti macan.
Mendengar itu aku segera membuka mataku dan ternyata itu bukanlah suara Harun melainkan benar-benar suara macan yang berada tepat dibawah batu tempat kami tertidur.
Akupun langsung duduk dari tidurku, ketika sudah duduk ternyata dibalik batu yang satunya ada 1 ekor macan lagi. Jadi dibawah batu yang kami tempati ini ada 2 ekor macan yang berwarnya hitam dan anehnya 2 macan itu sangat besar, seukuran kerbau.
Melihat keberada’an macan itu spontan aku mengeluarkan pedang yang dibekalkan sang guru untuk berjaga-jaga bila macan itu menyerang.
Setelah pedang itu aku keluarkan tiba-tiba salah satu macan itu melompat keatas batu dan akan menerkam Harun yang masih tertidur.
Ketika macan itu akan menerkam Harun dengan sigap aku langsung menusuk perut macan itu dengan pedang yang kupegang hingga akhirnya Harun selamat dari terkaman macan itu dan kedua macan itu berlari menjauh kedalam hutan.
Setelah kedua macan itu pergi aku segera membangunkan Harun dan mengajaknya untuk melanjutkan perjalanan, dan aku tidak menceritakan tentang macan itu kepada Harun dengan tujuan agar Harun tidak panik.
Tidak lama kami berjalan, tiba-tiba jalan yang kami lalui ini buntu, yang ada hanyalah semak belukar yang sangat rimbun.
Terpaksa kami menerabas semak itu untuk membuka jalan dan setelah keluar dari semak itu tepat didepan kami ada sebuah goa yang jaraknya sekitar 10 meter dari tempat kami berdiri.
Melihat keberada’an goa itu kami sedikit lega, kami mengira itu adalah goa yang dimaksud sang guru.
Kami pun berjalan menuju ke goa tersebut, sesampainya di mulut goa ternyata kami melihat ada seseorang yang sedang bertapa, orang itu terlihat sangat tenang dengan ciri-ciri hanya memakai celana pendek dan seluruh tubuhnya penuh dengan bulu, orang itu berwajah hitam legam dengan bulu yang berwarna abu-abu.
Kami memberanikan diri untuk masuk kedalam goa tersebut dan tidak lupa permisi.
Pelan-pelan kami masuk kedalam karena kami tidak ingin mengusik seorang petapa itu.
Sesampai didalamakhirnya kami menemukan sebuah batu yang dimaksud sang guru itu dan aku segera mengambilnya lalu membawa batu itu turun.
Sebelum meninggalkan goa itu, aku berkata,
“Amit mbah, aku mung arep nggowo watu iki mudun”
(Permisi mbah, aku hanya ingin membawa batu ini turun)
Setelah kata-kata itu ku’ucapkan kamipun kembali turun dengan membawa batu itu.
Berjalan turun, ditengah-tengah perjalanan tiba-tiba kami melihat ada se’ekor ular yang sangat besar sedang melintas didepan kami tapi, ular itu aneh, dia tidak berjalan seperti ular pada umumnya, dia berjalan seperti ular kobra tapi itu bukan ular kobra melainkan lebih mirip seperti ular sanca.
Melihat itu Harun sangat panik dia memintaku agar membunuhnya tapi aku ingat pesan dari sang guru bahwa kami tidak boleh membunuh ular karena kekuatan kami tidak akan sanggup membunuhnya.
Akhirnya kami membiarkan ular itu berjalan melintas, karena disisi lain ular itu tidak mengganggu.
Setelah ular itu melintas kami lanjut berjalan lagi hingga sampai di bawah sekitar sebelum subuh.
Sesmpai dibawah aku memberikan batu itu kepada sang guru kemudian sang guru meminta kepada kami agar sholat subuh dan istirahat sebentar sebelum kembali ke padepokan.
Ketika sedang istirahat guru mendatangi kami dan bilang,
“Semua yang kalian lihat di gunung tadi adalah gaib, hanya orang-orang tertentu saja seperti kalian yang bisa melihatnya”
Ternyata, sosok wanita yang kami temui itu adalah titiasan putri keraja’an Mataram, 2 sosok macan yang hampir menerkam mereka itu adalah sosok gaib macan jawa, goa beserta petapa didalamnya itupun juga gaib, petapa itu ternyata penghuni goa tersebut yang sudah ratusan tahun lamanya bertapa di goa itu, sedangkan ular besar yang mereka jumpai itu adalah penghuni gunung wilis.
Singkat cerita, sampilah kami di padepokan, sesampai di padepokan aku mengembalikan pedang yang pernah diberikan oleh sang guru kepadaku waktu itu, tapi sang guru tidak ingin menerima pedang itu karena menurut sang guru pedang itu sudah cocok denganku, jadi pedang itu diwariskan kepadaku.
kamipun lalu istirahat untuk melepas penat setelah 1 hari 2 malam melakukan petualangan malam, ketika sedang istirahat aku bilang kepada Harun tentang 2 macan yang hampir menerkamnya dan tentang suara macan yang sempat keluar dari mulutnya.
Mendengar penjelasan dariku Harun sedikit tidak percaya, karena dia tidak merasa seperti apa yang sudah kukatakan.
Lalu aku memperlihatkan sesuatu kepada Harun yaitu pedang dari sang guru yang masih berlumuran darah macan.
Dan dari situlah Harun baru percaya dengan kata-kataku.
Singkat cerita setelah bertahun-tahun kami mengabdi di padepokan akhirnya aku di’izinkan oleh guru untuk meninggalkan padepokan dengan ilmu kejawen yang sudah aku peroleh darinya, sedangkan Harun, dia masih harus lebih lama lagi mengabdi di padepokan.
Di rumah Ilmu itu aku gunakan untuk menolong orang yang membutuhkan, seperti orang yang terkena santet, orang yang terkena gangguan jin dsb.
Hingga sa’at ini aku masih sering datang ke padepokan untuk sowan dengan guru juga sekalian menemui Harun yang masih tinggal disana. Dan pedang pemberian dari sang guru itu masih kusimpan sampai sekarang dengan kondisinya yang berlumuran darah macan.
... END ...
klik lanjutan Part 1-4 dibawah ini ya !!!
Channel :
LVDS CHANNEL Creator : Ludvidhi Setiawan
Banyak pelajaran yang bisa kita petik dari cerita perjalanan diatas, sudah selayaknya kita sebagai mahluk hidup saling menghormati kepercayaan-kepercayaan setiap orang
Percaya atau tidak kembali lagi kepada setiap pembaca yaa. ambilah sisi positif dari kisah perjalanan cerita diatas ya sobat, dan terus belajar.
Baca Juga :
Jangan lupa baca part 1 sampai part 4 sobat, cerita menarik ini lumayan panjang, jadi jangan lupa siapkan cemilan dan kopi 😅😅karna ini cerita lawas yang terjadi tahun 1999, hutan masih rimbun.
Sebelumnya Terima kasih kepada sdr Ludvidhi sudah berkenan menulis dan berbaik hati membagikan cerita menarik seperti ini. sehat selalu.
Demikian Cerita Perjalanan Spiritual di Gunung Lawu ini ya, semoga bermanfaat dan Terima kasih
=D
BalasHapusKereennn
BalasHapus